Tuesday, November 8, 2011

5 Pelatih Muslim Sepakbola Eropa


1. Kurban Berdyev (Russia / Turkmenistan)

Sempat membuat heboh ketika berhasil membawa timnya, Rubin Kazan (klub Russia yang tidak terkenal), menang 2-1 atas Barcelona (yang disebut-sebut sebagai tim terbaik di dunia saat ini) di Camp Nou pada fase grup Liga Champions Eropa 2009/2010 yang lalu. Pelatih kelahiran Asghabat, 25 Agustus 1952 ini melatih Rubin Kazan sejak 2001 ketika tim itu masih di divisi 1. Berdyev kemudian membawa Rubin promosi ke Divisi Utama musim berikutnya dan memberi gelar liga pertama dalam sejarah klub tersebut pada 2008. Berdyev yang saat ini juga menjabat sebagai wakil presiden di klub tersebut, memiliki kebiasaan selalu membawa tasbih tiap kali melatih dan nampak berdzikir di pinggir lapangan. “Ini bukan semacam tradisi atau ritual, ini adalah kebutuhan. Saya pernah lupa tidak membawa tasbih, dan sepanjang pertandingan saya begitu gelisah, seperti kehilangan sesuatu. Jadi, ini adalah sebuah kebutuhan bagi saya, dan Muslim pasti akan mengerti itu,” ujar Berdyev suatu ketika.

2. Fatih Terim (Turki)


Satu-satunya pelatih beragama Islam yang pernah menangani klub serie A Italia. Terim melatih Fiorentina pada musim 2000/2001 dan AC Milan pada musim berikutnya. Meski berhasil membawa Fiorentina melaju ke final Coppa Italia, namun karirnya di tanah spaghetti hanya bertahan selama 1,5 musim, sebelum kembali ke Galatasaray. Galatasaray sendiri sebelumnya pernah dia bawa menjadi klub Turki pertama dan satu-satunya yang pernah menjuarai kejuaraan antar klub Eropa, tepatnya ketika mengalahkan Arsenal melalui adu penalti di final Piala UEFA 1999/2000. Pelatih yang sempat diisukan akan melatih timnas Indonesia ini juga sukses dua kali membawa Turki ke putaran final Piala Eropa 1996 dan 2008. Pada Euro 2008 itu, Turki dibuatnya menjadi tim bermental juara yang berkali-kali melakukan comeback (membalikkan keadaan setelah sempat tertinggal), dalam perjalanan menuju semifinal. 

3. Philippe Troussier (Prancis)


Mantan pelatih timnas Qatar di Piala Asia 2004 ketika dikalahkan Indonesia 1-2 ini masuk Islam pada tahun 2006, di saat dia melatih timnas Maroko. Philippe bersyahadat bersama dengan istrinya, Dominique, dan kemudian pasangan ini mengadopsi dua anak dari Maroko, Selma dan Mariam. Troussier sendiri memberi nama ‘Omar’ di tengah namanya. Pria kelahiran Paris yang kini melatih Shenzen Ruby di League One China ini pernah membawa Afrika Selatan lolos ke Piala Dunia untuk pertama kalinya pada 1998. Dia dijuluki ‘White Whitch Doctor’ karena kesuksesannya ketika menangani sejumlah klub dan timnas di Afrika. Selain itu juga sempat membawa timnas Jepang menjuarai Piala Asia 2000. 

4. Bruno Metsu (Prancis)


Pelatih yang sukses membawa Senegal membuat kejutan dengan melaju ke perempat final Piala Dunia 2002 ini masuk Islam pada 24 Maret 2002, dan mengganti namanya menjadi Abdul Karim. Metsu tak pernah mempublikasikan alasannya masuk Islam, karena baginya itu adalah privasi. Mengawali karir di sejumlah klub di Liga Prancis, pelatih kelahiran tahun 1954 ini kemudian malang melintang di berbagai liga di Timur Tengah hingga sekarang. Prestasinya antara lain adalah membawa klub UEA, Al Ain, menjuarai Liga Champions Asia 2002/2003. 

5. Senol Gunes (Turki)

Namanya mulai dikenal ketika membawa timnas Turki menjadi juara 3 Piala Dunia 2002. Belum lama dia juga membawa klubnya, Trabzonspor, mempermalukan raksasa Italia, Inter Milan 2-1 di San Siro pada matchday 1 Liga Champions Eropa 2011/2012. Selain melatih di Turki, Gunes juga pernah menangani FC Seoul di liga Korea, dan sempat bersua Sriwijaya FC pada liga Champions Asia tahun 2009. Saat menjadi pemain, Gunes dikenal sebagai kiper andalan timnas Turki dan sempat meraih 6 kali juara Super Lig Turki. Sementara sebagai pelatih, dia pernah menjuarai Piala Turki dua kali bersama Trabzonspor pada 1995 dan 2010. 

Saturday, November 5, 2011

Mengorbankan Cinta, Berkorban Demi Cinta


Kata orang, cinta mesti berkorban. Demi yang kita cintai, kita harus mengorbankan apa pun itu. 
Sebegitu besarkah nilai sebuah cinta ?
Lebih besar dari itu, bila kita mengetahui.

Sudah banyak tulisan yang membahas mengenai cinta kepada sesama manusia. Banyak pula yang membahas mengenai cinta kepada Allah. Begitu pula, yang membandingkan antara keduanya. Begitu banyaknya sehingga membuat kita semua tentu sudah tahu jawabannya, cinta kepada Allah adalah yang tertinggi dibanding cinta pada siapapun. 

Betul, cinta harus berkorban. Termasuk, mengorbankan cinta itu sendiri. 
Itu bisa terjadi, di kala antara satu cinta dengan cinta yang lain tak dapat berjalan beriringan. Ketika salah satu cinta ‘mengganggu’ cinta yang lain. Ketika cinta kepada yang satu membuat kita tak maksimal mencintai yang lain. 
Seperti halnya ketika kita harus memilih antara dua cinta. 

Semuanya terserah pada pihak yang mencintai.
Ketika cinta kepada dunia membuat kita lupa mencintai akhirat, cinta mana yang harus kita korbankan?
Ketika cinta kepada lawan jenis membuat kita lalai menghargai cinta orang tua kita, cinta mana yang harus kita korbankan?
Ketika cinta kepada seseorang yang menjadi ‘target’, membuat kita terhalang untuk mencintai sahabat-sahabat yang peduli pada kita, cinta mana yang harus kita korbankan?
Dan, ketika cinta kita kepada yang tersayang justru membuatnya tak nyaman dan tak bahagia, maka apa yang harus kita lakukan?
Sekali lagi, pengambilan keputusan ada pada pihak yang mencintai.
Terkadang, berkorban demi cinta itu harus diwujudkan dengan mengorbankan cinta itu sendiri.